Banteng (Bos javanicus) sebagai salah satu satwa langka penghuni Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, keberadaannya kian terancam punah, baik akibat aksi perburuan liar maupun keganasan hewan predator.
"Hasil pendataan kami pada tahun 1992, di Alas Purwo masih terdapat sekitar 50 ekor banteng, dan pada survei yang kami lakukan pada 1996 tinggal 17 ekor," kata Sandy Nurvianto, peneliti dan dosen pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, di Tabanan, Bali, Jumat.
Di sela-sela pertemuan 20 peneliti muda kawasan Asia-Pasifik yang didukung Association for Tropical Bilogy and Conservation-Asia Pacific Chapter, Sandy menyebutkan, populasi banteng yang pada 1980-an sekitar 3.000 ekor di kawasan Alas Purwo, belakangan mengalami penurunan hingga 80 persen setiap tahunnya.
Sandy mengaku melakukan penelitian terakhir tahun 2008 khusus terhadap banteng, baik di Alas Purwo maupun di Baluran yang selama ini merupakan habitat bagi hewan mamalia tersebut.
Dalam penelitan yang dimaksudkan untuk mengetahui penyebaran satwa langka di kedua taman nasional itu, juga menemukan kebiasaan banteng yang lebih suka tinggal di sekitar pohon-pohon dibandingkan di kawasan padang safana buatan.
Selain itu ditemukan pula tren perpindahan banteng saat mencari mata rantai makanan kurun waktu tertentu, yakni ke hutan jati sebagai hutan produksi. Padahal, kata dia, di kawasan tersebut banyak aktivitas manusia, sehingga mengundang kerawanan.
Namun demikian, kata Sandy, ada suatu yang menggembirakan dari hasil penelusuran jejak kaki banteng yang dilakukan pihaknya pada 2009.
"Dari hitungan semula 17 ekor, lewat penelusuran jejak kaki diketahui bertambah menjadi 10 ekor, dan untuk data terakhir malah telah menjadi sekitar 27 ekor," katanya.
Jejak kaki itu selain terlihat di "sadengan" atau safana, juga di sisi selatan hutan Alas Purwo yang berbatasan dengan sebuah sungai besar.
Terkait menurunnya populasi banteng, Sandy mengatakan, di antaranya disebabkan oleh adanya aksi perburuan liar serta hewan predator, yakni anjing hutan yang dikenal dengan "ajak".
"Kami pernah temukan bekas jebakan atau seling serta bekas racun yang dipakai untuk membunuh banteng," imbuh Sandy di sela-sela pertemuan sehari 20 peneliti muda kawasan Asia-Pasifik itu.
"Hasil pendataan kami pada tahun 1992, di Alas Purwo masih terdapat sekitar 50 ekor banteng, dan pada survei yang kami lakukan pada 1996 tinggal 17 ekor," kata Sandy Nurvianto, peneliti dan dosen pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, di Tabanan, Bali, Jumat.
Di sela-sela pertemuan 20 peneliti muda kawasan Asia-Pasifik yang didukung Association for Tropical Bilogy and Conservation-Asia Pacific Chapter, Sandy menyebutkan, populasi banteng yang pada 1980-an sekitar 3.000 ekor di kawasan Alas Purwo, belakangan mengalami penurunan hingga 80 persen setiap tahunnya.
Sandy mengaku melakukan penelitian terakhir tahun 2008 khusus terhadap banteng, baik di Alas Purwo maupun di Baluran yang selama ini merupakan habitat bagi hewan mamalia tersebut.
Dalam penelitan yang dimaksudkan untuk mengetahui penyebaran satwa langka di kedua taman nasional itu, juga menemukan kebiasaan banteng yang lebih suka tinggal di sekitar pohon-pohon dibandingkan di kawasan padang safana buatan.
Selain itu ditemukan pula tren perpindahan banteng saat mencari mata rantai makanan kurun waktu tertentu, yakni ke hutan jati sebagai hutan produksi. Padahal, kata dia, di kawasan tersebut banyak aktivitas manusia, sehingga mengundang kerawanan.
Namun demikian, kata Sandy, ada suatu yang menggembirakan dari hasil penelusuran jejak kaki banteng yang dilakukan pihaknya pada 2009.
"Dari hitungan semula 17 ekor, lewat penelusuran jejak kaki diketahui bertambah menjadi 10 ekor, dan untuk data terakhir malah telah menjadi sekitar 27 ekor," katanya.
Jejak kaki itu selain terlihat di "sadengan" atau safana, juga di sisi selatan hutan Alas Purwo yang berbatasan dengan sebuah sungai besar.
Terkait menurunnya populasi banteng, Sandy mengatakan, di antaranya disebabkan oleh adanya aksi perburuan liar serta hewan predator, yakni anjing hutan yang dikenal dengan "ajak".
"Kami pernah temukan bekas jebakan atau seling serta bekas racun yang dipakai untuk membunuh banteng," imbuh Sandy di sela-sela pertemuan sehari 20 peneliti muda kawasan Asia-Pasifik itu.
0 komentar:
Posting Komentar